Keberadaan lukisan gua di perbukitan karst tak jauh dari Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, boleh dibilang sebagai temuan sangat spektakuler. Temuan lukisan (atau apa pun istilahnya) di Gua Harimau itu, seperti dikatakan oleh Truman Simanjuntak—ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkenas—akan mengubah paradigma tentang lukisan gua di Indonesia.
Temuan ini sekaligus mengisyaratkan keberadaan lukisan gua dari masa prasejarah lainnya di Sumatera (juga mungkin di Jawa). Selama ini ada keyakinan di kalangan arkeolog bahwa Indonesia bagian barat tidak tersentuh oleh tradisi lukisan gua.
Berpuluh-puluh tahun, lukisan gua hanya ditemukan di Indonesia bagian timur. Akan tetapi, lewat penemuan-penemuan baru di Kalimantan—khususnya di Kalimantan Timur—dalam beberapa tahun terakhir, keyakinan itu mulai goyah. Pandangan tadi kemudian direduksi hanya Sumatera dan Jawa yang tidak mengenal tradisi lukisan gua.
"Sekarang, melalui penemuan di Gua Harimau, anggapan bahwa Sumatera (barangkali juga Jawa) tidak mengenal tradisi lukisan gua tampaknya harus direvisi lagi," kata Truman Simanjuntak.
Menurut catatan Pindi Setiawan, ahli komunikasi visual dari ITB yang mendalami fenomena lukisan prasejarah, gambar cadas (istilah lain lukisan gua, rock art) merupakan warisan budaya gambar manusia paling tua, sekaligus paling lebar rentang waktunya. Sejak pertama kali dibuat pada sekitar 40.000 tahun lalu, gambar cadas tetap digambar hingga kini (baca: antara lain oleh masyarakat Aborigin di Australia).
Gambar cadas, kata Pindi, merupakan fenomena mendunia, dibuat oleh Homo sapiens yang belum mengenal semacam aksara dan tulisan. Namun, lewat gambar cadas yang ditorehkan di dinding dan langit-langit gua itu, Homo sapiens membuktikan bahwa mereka sudah punya kemampuan berimajinasi sekaligus mewujudkan imajinasinya dalam bentuk gambar.
"Tidak ada makhluk Tuhan lainnya yang memiliki kemampuan berimajinasi dan sekaligus mewujudkannya," kata Pindi.
Kalangan ahli meyakini bahwa lukisan prasejarah, terutama yang banyak ditemukan di dinding dan langit-langit gua, merekam buah pikiran (intuisi) tentang kehidupan masyarakat pendukungnya. Karena itu, gambar-gambar tersebut sesungguhnya juga memiliki fungsi sosial.
Ada pesan dan makna yang ingin disampaikan oleh pembuatnya. Pesan dan makna itu kebanyakan dalam bentuk simbol komunikasi nonverbal, yang tentu saja berbeda dengan model komunikasi melalui gambar yang dibangun oleh masyarakat berbudaya tulis.
Itulah "suara" dari masa silam. "Suara" yang diam di tengah riuhnya kemajuan peradaban hari ini. [sumber]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar