1. Bertengkar Di depan Anak-Anak
Dunia anak adalah dunia bermain dan belajar. Setiap keluarga juga tidak pernah jauh dari yang namanya masalah. Dengan adanya permasalahan tersebut, tidak jarang suami dan istri bertengkar meskipun hanya pertengkarang-pertemgkaran kecil. Tidak selayaknya dunia anak dicampuri dengan masalah-masalah orang tua yang cenderung berat dan jauh dari pola pikir anak. Agar buah hati anda tidak terkontaminasi dengan segala permasalahan kita, alangkah lebih baik bagi kita sebagai orang tua, untuk tidak bertengkar di depan anak-anak. Karena bila seorang anak terlalu sering melihat orang tuanya bertengkar, tentu sangat tidak baik efeknya bagi perkembangan kepribadian sang anak. Buah hati kita bisa menjadi anak yang mudah minder dalam bergaul dan susah konsentrasi dalam belajar, karena di dalam pikirannya selalu penuh dengan permasalahan-permasalahan yang belum saatnya mereka terima.
2. Berlaku Kasar Kepada Pembantu Rumah Tangga
Tidak jarang seorang majikan memperlakukan Pembantu Rumah Tangganya dengan tidak baik. Memerintah dengan sesuka hati, kadang dengan suara keras. Dan bila Pembantu Rumah Tangganya melakukan kesalahan, sang tuan akan marah sejadi-jadinya di depan anak-anak mereka. Bila kita sering memperlakukan PRT dengan cara demikian, akan lebih baik bila kita menghentikan kebiasaan ini. Karena hal ini bisa menyebabkan anak menjadi sulit menghargai orang lain, terutama orang-orang yang mereka anggap lebih rendah (mempunyai status sosial lebih rendah). Efek lainnya, bisa jadi buah hati kita menjadi sulit menghormati guru mereka di sekolah dan cenderung meremehkan, karena menganggap guru memiliki kedudukan lebih rendah dari mereka. Hal ini tentunya bisa menyebabkan terganggunya proses belajar mengajar anak di sekolah.
Akan lebih baik bagi kita orang tua, untuk menghargai dan menghormati PRT kita layaknya saudara atau karyawan. Saya yakin, bila kita memperlakukan PRT dengan sebaik mungkin, mereka pasti akan melakukan segala pekerjaan mereka dengan baik. Buah hati kita pun tidak akan mendapati kita “menindas” orang yang lebih lemah, dan bisa belajar menghargai orang lain.
3. Terlalu Acuh Pada Tetangga
Saya sangat bangga dengan orang tua saya, karena mereka sangat baik kepada tetangga-tetangga kami, terutama dengan tetangga rumah sebelah dan depan. Tidak jarang keluarga kami saling memberikan oleh-oleh bila kami pulang tamasya atau mengadakan suatu pesta di rumah. Tetangga-tetangga kami kadang bercengkrama dan membiarkan anak-anak mereka bermain bersama teman yang lain di depan rumah keluarga kami. Bila di depan rumah banyak orang, saya pasti tertarik untuk keluar supaya saya bisa bermain dengan teman-teman kecil saya. Saat orang tua saya bertemu dengan para tetangga pun, mereka minimal akan saling memberikan senyuman. Namun hal demikian kadang tidak saya temukan di rumah teman atau saudara saya. Beberapa diantara mereka cenderung acuh dan tidak peduli dengan tetangga dekat mereka. Bahkan ada beberapa diantara tetangga teman saya yang justru bermusuhan. Saat saya bermain di rumah teman saya, ada seorang tetangga yang ngemong anaknya di depan rumah teman saya. Waktu itu saya mengajak teman saya untuk bermain di luar rumah, namun teman saya malah menjawab,”Males ah… Ada tetangga yang nyebelin tuh di depan rumah.” Dari teman saya, saya bisa belajar akan pentingnya menjaga hubungan baik dengan tetangga-tetangga dekat kita. Akan lebih baik lagi bila kita bisa menganggap mereka layaknya sahabat atau saudara. Karena walau bagaimana pun, peluang kita untuk bertemu dengan mereka sangatlah besar. Bila kita acuh tak acuh terhadap tetangga kita apalagi sampai bermusuhan, tentu juga akan membawa efek yang tidak baik bagi anak. Setiap anak membutuhkan tempat yang kondusif agar mereka bisa tumbuh dan berkembang secara kejiwaan. Dan bila hubungan kita tidak baik dengan tetangga-tetangga dekat kita, hal ini bisa menyebabkan buah hati kita menjadi sulit berkembang terutama di lingkungan rumah kita sendiri, karena secara tidak langsung kita telah mengajarkan sifat tertutup kepada mereka.
4. Terlalu Banyak Melarang
Mungkin kita berpikir, dengan banyaknya larangan yang kita berikan kepada buah hati kita menandakan bahwa kita begitu perhatian kepada buah hati kita. Namun larangan tidak selamanya tepat, karena terlalu banyak melarang akan membuat anak menjadi sulit untuk berkembang dan berpikir kreatif. Akan lebih baik bagi kita untuk mengubah larangan menjadi sebuah nasihat.
Misalnya, pada saat kita …
Tidak mengijinkan buah hati kita pulang terlalu larut malam.
Ubahlah kata,”Jangan pulang malam-malam”, menjadi “Kalau kamu pulang malem-malem, kamu kehilangan waktu kamu buat belajar. Selain itu… Mama Papa kan jadi khawatir. “
Hal terpenting yang ditekankan di sini adalah saat kita menasihati buah hati kita melakukan sesuatu, jangan terfokus pada hal yang kita larang, melainkan alasan kita melarang. Dan intonasi yang kita gunakan saat menasihati bukan intonasi kemarahan, namun lebih pada kekecewaan. Akan lebih baik bila kita melakukan hal ini sedini mungkin dalam menasihati buah hati kita, sehingga buah hati kita pun lebih mudah dinasihati oleh semua orang, termasuk guru-guru mereka di sekolah. Karena saya pernah menemukan beberapa anak yang sangat sulit dinasihati dengan cara lembut, dan setelah ditelusuri, ternyata mereka sudah terbiasa dididik secara keras oleh orang tua mereka, sehingga sulit untuk dinasihati secara lembut oleh semua orang termasuk oleh guru-guru mereka.
5. Kurang Bisa Mendengarkan Menjadi Pendengar Yang Baik
Mungkin buah hati kita sering bertanya dan bercerita tentang hal-hal yang menurut kita tidak penting, dan mungkin kita menganggapnya sebagai suatu hal yang bodoh. Namun sebagai orang tua, tidak sepantasnya bagi kita untuk tidak menanggapi mereka dan bersikap cuek saat buah hati kita bertanya dan bercerita tentang hal-hal yang menurut kita tidak penting. Bila kita kurang bisa menanggapi pertanyaan, keluh kesah, cerita dari buah hati kita dengan baik, buah hati kita pun bisa cenderung tumbuh menjadi anak yang tertutup kepada kita, dan lebih suka belajar kepada orang lain dan mengungkapkan segala permasalah hidupnya kepada orang lain. Padahal orang lain di luar sana, belum tentu orang yang “tepat”.
6. Jarang Memuji
Sebagai orang tua atau orang yang lebih dewasa daripada buah hati kita, tentu kita lebih bisa terkagum oleh hal-hal yang besar. Misalnya, melihat orang dengan pakaian yang unik dan lucu. Baru kita mengatakan bahwa orang tersebut sangat lucu dan memberikan apresiasi yang besar kepada orang lucu tersebut. Namun bagaimana dengan buah hati kita? Bisa apa dia? Ngomong aja masih susah… Apalagi berbuat sesuatu hal yang luar biasa. Dalam hal ini, sebagai orang tua akan lebih baik bagi kita untuk bisa memberikan pujian kepada buah hati kita saat melakukan hal-hal yang menurut buah hati kita luar biasa. Jadi hal yang luar biasa di sini, bukan dengan pemikiran kita, melainkan dengan pemikiran buah hati kita. Maka kita sebagai orang tua harus peka dalam hal ini. Kita harus bisa memberikan pujian kepada buah hati kita, meskipun itu adalah hal-hal yang kecil dan sederhana. Misalnya, memberikan pujian saat buah hati kita bisa berjoget, memberikan pujian saat buah hati kita bisa bersalaman, memberikan pujian saat buah hati kita bilang..”bye-bye…”, dan masih banyak hal-hal kecil yang luar biasa bila kita mau mengerti pola pikir seorang anak. Bila kita jarang melakukan pujian kepada buah hati kita, maka buah hati kita pun bisa tumbuh menjadi pribadi yang haus akan pujian dan perhatian. Bila kita tidak biasa memuji buahhati kita, kepada siapa mereka akan meminta pujian. Tentu saja di luar sana, buah hati kita yang “dewasa” akan mencari pujian-pujian untuk menarik perhatian banyak orang, dengan berpakaian yang tidak sopan, berkata kasar, berperilaku tidak baik, untuk memuaskan kerinduan mereka untuk menerima pujian.
7. Membeli Barang-barang yang tidak penting
Sebagai seorang yang orang tua yang berkarir, tentu bukan masalah lagi dalam hal mendapatkan uang. Terkadang saat kita merasa memiliki uang lebih, kita akan berpikir, buat apa uang yang kita miliki ini. Tidak jarang kita lalu membeli barang-barang yang tidak perlu, atau menggunakan uang tersebut untuk foya-foya. Bila kita bergaya hidup demikian, maka ini akan sangat memperngaruhi kepribadian buah hati kita. Buah hati kita bisa tumbuh menjadi pribadi yang boros dan tidak bisa menghargai uang. Selain itu, bila buah hati kita merasa segala kebutuhannya telah bisa dicukupi dan merasa bila ortunya memiliki uang yang berlebihan, tentu buah hati kita akan berpikir,”Bila orang tuaku punya banyak uang, buat apa aku ke sekolah dan belajar?” Dan tentunya ini akan sangat berpengaruh pada pendidikan akademis buah hati kita, karena mereka akan cenderung meremehkan pendidikan, karena mereka telah berpikir…. “Yang penting ada uang.” Padahal, hidup bukan hanya untuk uang bukan?[sumber]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar